Selasa, 23 Februari 2016

Kantor Jacobson Van Den Berg



Palembang History - Kantor Jacobson van Den Berg adalah salah satu bangunan tua sisa kolonial Belanda terletak di Jalan Sekanak tepat di persimpangan Balai Pertemuan (Kini kantor Pol PP).  Lewat bentuk kita pasti sudah akan mengira bahwa bangunan ini sudah berusia cukup tua.  Warna bangunan yang dahulu putih sekarang tidak tampak lagi, kini bangunan tersebut kusam tak terawatt namun tetap berdiri kokoh khas bangunan kolonial. 


Sayangnya bangunan bekas kantor van Jacobson van Den Berg kurang mendapatkan perhatian dari pemerintah.  Seandainya pemerintah setempat mengambil bangunan ini dan menjadikan bangunan tersebut sebagai aset wisata bukan mustahil akan menjadi tempat yang menarik untuk di kunjungi.  Palembang bukan kota seperti Jakarta mapun Semarang yang memiliki wilayah kota tua yang terpusat, di Palembang bangunan tua berada menyebar di sudut-sudut kota, tidak jarang bangunan tua yang masih tersisa kini sudah hancur dan tinggal kenangan.   
Keberadaan bangunan tua di Palembang harus dilestarikan karena merupakan warisan sejarah yang tidak ternilai harganya. Keberadaan kantor van Jacobson van Den Berg di Palembang kurang diketahui pasti kapan berdirinya, namun dari bentuknya saja kita sudah pasti mengira banyak kisah yang telah disaksikan bangunan tersebut.   

Jacobson van Den Berg adalah perusahaan dagang milik Belanda yang beroperasi di Indonesia sejak 1960 dan dinasionalisasikan pada tahun 1958.  Perusahaan ini bergerak di bidang asuransi dan perdagangan (Expor-Impor) termasuk membentuk perusahaan kongsi di Palembang untuk pembelian karet dan kopi.
 
Karyawan Indonesia mengambil alih NV Jacobson van Den Berg & Co ketika hubungan RI-Belanda memburuk.  Jacobson van den Berg dan semua perusahaan milik Belanda diambil alih.  Sementara ribuan warga Belanda dan Indo Belanda meninggalkan Indonesia.


Tahun 1957 perusahaan ini diambil alih pemerintah RI dan dinasionalisasikan. Tahun 1959 didirikan perusahaan dengan nama PT. Yudha Bhakti Corp sebagai pengganti nama Jacoberg. Tahun 1961 PT. Yudha Bhakti diubah status dan diganti namanya menjadi Perusahaan Dagang Negara (PDN) Fadjar Bhakti, yang merupakan peleburan dari 6 perusahaan negara yakni PT. Yudha Bhakti, PT. Kartika Pantja, Permata, Tantular, dan NV Tsounas. Tahun 1964, PDN Fadjar Bhakti dibubarkan dan diganti namanya menjadi P.N. Satya Niaga. Dari keenam perusahaan yang diintegrasikan ke dalam PDN Fadjar Bhakti, hanya eks. Yudha Bhakti Corp dan eks. Kartika Pantja yang melebur ke dalam PN Satya Niaga yang pada tahun 1970 dialihkan statusnya dari Perusahaan Negara (PN) menjadi Perusahaan Perseroan (PT). Namun karena kondisinya semakin parah, tahun 1977 dilikuidasi dan digabung ke dalam PT. Dharma Niaga.

(Dirangkum dari berbagai Blog)

Senin, 22 Februari 2016

Pasar Cinde




Palembang History - Pasar Cinde yang berada di jalan Sudirman merupakan salah satu pasar tertua di Palembang. Sebagai pasar tradisional, pasar yang satu ini mempunyai keunikan tersendiri. Seluruh jenis barang tersedia. Yang baru, bekas, yang “panas” hingga yang “dingin.”

Pasar cinde pada awal mulanya di sebut dengan pasar lingkis dimana dulunya banyak pedagang yang berasal dari daerah lingkis, Jejawi, Oki yang dulunya juga banyak tinggal di tempat tersebut. Pada masa perang 5 hari 5 malam 1947 tempat ini merupakan salah satu titik pertempuran di mana sebagian pejuang dari kebon duku mengambil posisi di area ini
 
Pasar Cinde dibangun pada 1958, pascakemerdekaan Indonesia. Arsitek bangunan Pasar Cinde adalah Herman Thomas Karsten (1884– 1945). Bangunan Pasar Cinde ini dirancang dengan struktur utama memakai konstruksi cendawan (paddestoel). Namun, pasar tersebut identik dengan sejarah kesultanan Palembang Darussalam.

Sebab, di tempat tersebut terdapat makam keluarga kesultanan, tepat berada di belakang bangunan Pasar Cinde. Di pemakaman ini terdapat makam sultan pertama dari Kesultanan Palembang Darussalam, yakni Kemas Hindi yang bergelar Pangeran Ratu Kemas Hindi Sri Susuhanan Abdurrahman Candiwalang Khalifatul Mukminin Sayidul Iman.

(Sumber : Wikipedia)

Gelora Sriwijaya





Palembang History - Gelora Sriwijaya Jakabaring merupakan stadion sepak bola yang terletak di Palembang, Sumatera Selatan. Tepatnya berada di kompleks olahraga di daerah Jakabaring. Salah satu stadion besar di Indonesia ini dibangun pada tahun 2001 dalam rangka persiapan Sumatera Selatan sebagai tuan rumah PON XVI 2004. Usai gelaran Pekan Olah Raga Nasional, stadion ini digunakan sebagai homebase klub kebanggaan Sumatera Selatan, Sriwijaya FC.

Stadion yang berkapasitas 40.000 penonton ini pernah digunakan sebagai venue Kualifikasi Grup dan Perebutan Juara Ketiga Piala Asia 2007, antara Korea Selatan vs Jepang. Selain itu, stadion yang beralamatkan di Jalan Gubernur H. A. Bastari, Jakabaring, Palembang tersebut pernah menjadi tempat pembukaan dan penutupan SEA Games 2011 lalu.

Tribun, drainase (penyerapan air), penerangan, papan skor dan kelengkapan fasilitas yang ada di stadion ini mendapatkan penilaian A dari AFC. Sedangkan untuk rumput lapangan dan tempat duduk, sementara ini nilainya masih B+. Namun standar ini dinilai masih di atas rata" stadion lainnya di nusantara.

Ada beberapa kelompok suporter yang biasa beratraksi di atas tribun stadion konvensional yang berdiri di atas lahan 40 hektar ini. Ada Baladas, Singa Mania, dan Simanis (Singa Mania Indonesia), semuanya hanya mendukung satu nama yaitu Sriwijaya FC tiap bertanding di stadion yang dikelola oleh Pemerintah Provinsi Sumatra Selatan tersebut.

Nama Sriwijaya sendiri diambil dari sebuah nama kerajaan maritim yang memiliki pusat pemerintahan di kawasan Palembang pada masa kejayaannya yang mampu menyatukan wilayah barat nusantara mulai abad 7 sampai sekitar abad 12 silam. Nama Sriwijaya juga menjadi nama klub yang bermarkas di stadion ini.

2 dari 4 tribun stadion konvensional ini yaitu tribun utama barat dan timur (A dan B) dilindungi oleh atap yang ditopang 2 pelengkung (arch) baja berukuran raksasa. Bentuk atap stadion merupakan simbol kejayaan kemaharajaan Sriwijaya di bidang maritim yang dilambangkan oleh bentuk perahu dengan layar terkembang.

(Sumber : wikipedia)

Sabtu, 20 Februari 2016

Masjid Cheng Ho Palembang




PalembangHistory - Masjid Al Islam Muhammad Cheng Ho Sriwijaya Palembang atau biasa disebut sebagai Masjid Cheng Ho Palembang  berlokasi di Perumahan Amen Mulia, Jakabaring, palembang. Masjid ini didirikan atas prakarsa para sesepuh, penasehat, pengurus Pembina Iman Tauhid Islam d/h Persatuan Islam Tionghoa Indonesia (PITI) Sumatera Selatan yang diketuai oleh H. A. Afandi serta tokoh masyarakat Tionghoa di sekitar palembang.

Masjid Cheng Ho Palembang merupakan salah satu dari 3 Masjid Cheng Ho yang sudah berdiri di Indonesia, dua yang lain berada di Surabaya dan Pasuruan. Dibandingkan dua Masjid Cheng Ho Lain nya Masjid Cheng Ho Palembang merupakan Masjid Cheng Ho terbesar. Fungsi masjid Cheng Ho lebih dari sekadar tempat ibadah. Masjid ini menghelat kegiatan-kegiatan agama dan kemasyarakatan, dan telah menjadi sebuah tujuan wisata yang menarik para pengunjung dari Malaysia, Singapura, Taiwan dan bahkan Rusia.

Arsitektur Masjid


Bangunan masjid dibangun dengan perpaduan unsur Cina, Melayu, Nusantara dan arab ini dilengkapi dengan rumah imam, Tempat Pendidikan Al-Quran untuk anak-anak secara gratis, Kantor DKM, perpustakaan masjid, serta ruang serbaguna. Bangunan masjid berukuran 25 x 25 meter berdiri di atas tanah 5000 meter persegi. Pembangunan masjid menelan biaya sekitar Rp 4 miliar.

Masjid Sriwijaya Muhammad Cheng Ho , mampu menampung sekitar 600 jemaah dan berlantai 2. Lantai pertama digunakan untuk jemaah laki laki, sedangkan lantai dua digunakan khusus untuk jemaah wanita. Memiliki 2 pagoda kembar di sisi kanan dan kiri bangunan utama masjid yang diberi nama Habluminallah dan Habluminannas. Di bagian bawah pagoda sendiri difungsikan sebagai tempat wudhu jamaah.


Sejarah Masjid Cheng Ho Palembang

Pembangunan masjid ini diawali dengan peletakkan batu pertama bulan September 2005. Modal awal pembangunan sekitar Rp 150 juta diperoleh dari hasil urunan anggota PITI Sumatera Selatan. Sedangkan tanah tempat masjid berdiri merupakan hibah dari pemerintah daerah dan mulai digunakan sejak hari Jum’at 22 Agustus 2008 dengan digelarnya sholat jum’at berjamaah dan di hadiri tak kurang dari 1500 jemaah dari berbagai etnis dan daerah di Palembang. Acara tersebut juga dihadiri oleh walikota Palembang yang turut sholat jum’at berjamaah. Sedikit acara selamatan di selenggarakan oleh pengurus PITI Sumatera Selatan sebelum sholat jum’at dilaksanakan.

Keterkaitan Laksamana Cheng Ho dengan Palembang

Sejarah kota Palembang memang tak terpisahkan dengan Laksamana Dinasti Ming. Sejak melakukan pelayaran mengelilingi dunia, Cheng Ho sempat 4 kali datang ke Palembang. Cheng Ho adalah seorang kasim Muslim yang menjadi orang kepercayaan Kaisar Yongle dari Tiongkok (berkuasa tahun 1403-1424), kaisar ketiga dari Dinasti Ming. Nama aslinya adalah Ma He, juga dikenal dengan sebutan Ma Sanbao ( 三保), berasal dari provinsi Yunnan.

Ketika pasukan Ming menaklukkan Yunnan, Cheng Ho ditangkap lalu diwajibkan untuk menjalani pendidikan militer sampai kemudian menjadi Laksamana. Cheng Ho berasal dari suku Hui, suku bangsa yang secara fisik mirip dengan suku Han, namun beragama Islam.

Penyebaran Islam di Indonesia , selain dilakukan para pedagang dari Arab dan sekitarnya, ternyata para pedagang asal Tionghoa ikut berperan menyebarkan Islam di daerah pesisir Palembang. Di sini pula peran Laksamana Cheng Ho dalam menyebarkan Islam di Palembang. Armada Cheng Ho sebanyak 62 buah kapal dan tentara yang berjumlah 27.800 yang dipimpinnya itu pernah empat kali berlabuh di pelabuhan tua di Palembang.

Pada tahun 1407 Kota Palembang yang berada di bawah kekuasaan Sriwijaya pernah meminta bantuan armada Tiongkok yang ada di Asia Tenggara untuk menumpas perampok-perampok Tionghoa Hokkian yang mengganggu ketenteraman. Kepala perampok tersebut yang bernama Chen Tsu Ji berhasil diringkus dan dibawa ke Peking. Semenjak itu, Laksamana Cheng Ho membentuk masyarakat Islam Tionghoa di Kota Palembang yang memang sudah ada sejak zaman Sriwijaya.

Gerombolan perompak yang dipimpin Chen Tsu Ji, sebenarnya bekas seorang perwira angkatan laut China asal Kanton. Dia melarikan diri ketika Dinasti Ming berkuasa. Pelariannya berlabuh di Palembang. Kedatangannya ke Palembang telah membuat resah para pedagang yang singgah. Sebab, Chen Tsu Ji membawa ribuan pengikutnya dan membangun basis kekuasaan di Palembang, atau po-lin-fong dalam bahasa China, yang berarti ”pelabuhan tua.” Selama berkuasa di Palembang, Chen Tsu Ji menguasai daerah sekitar muara Sungai Musi, perairan Sungsang, dan Selat Bangka. 

Anak buah Chen Tsu Ji merompak semua kapal yang melintasi perairan itu. Kebetulan atau tidak, daerah-daerah itu sampai kini jadi kantung-kantung bandit Palembang. Selama perjalanan Cheng Ho antara 1405–1433 M, dia pernah empat kali ke Palembang. Tahun 1407 masehi, armada Cheng Ho mampir ke Palembang dalam rangka menumpas perompak yang dipimpin Chen Tsui Ji tersebut. Kemudian, pada tahun 1413–1415M, 1421–1422M, dan tahun 1431–1433 M, armada Cheng Ho berlabuh ke Palembang. Setelah memberantas para perampok, Laksamana Cheng Ho berlabuh hingga tiga kali ke Palembang. Namun, tidak ada yang tahu maksud dan tujuannya.

Hingga kini etnis thionghoa menjadi salah satu etnis yang mendiami wilayah Sumsel, dan menurut catatan saat ini Tionghoa muslim di Sumsel berjumlah sekitar 4.000 orang. Sekitar 2.000 orang lebih muslim Tionghoa telah lama menetap di Palembang.

( Sumber : Wikipedia )