Palembang
History - Masjid besar Al Mahmudiyah berlokasi di Jl Ki Gede
Ing Suro, Kelurahan 30 Ilir, Kecamatan Ilir Barat (IB) II, Palembang merupakan
salah satu masjid bersejarah. Tempat ibadah umat muslim yang akrab disebut Masjid
Suro ini sempat terlantar sejak didirikan oleh Ki H Abdurahman Delamat bin Syarifuddin bersama sahabatnya Kiai Ki Agus H. Mahmud Usman (Kgs.
Khotib) tahun 1889.
Pada awal
berdirinya, masjid ini ramai sekali dikunjungi masyarakat sekitamya, baik untuk
shalat maupun menimba ilmu agama kepada Kiai Delamat. Namun, Tuan Residen waktu
itu tidak menghendaki masjid tersebut dijadikan sebagai tempat untuk
menyampaikan dakwah Islam. Pemerintah Kolonial khawatir masyarakat Palembang
akan berontak kepada Kompeni.
Akhinya,
Kiai Delamat dipanggil oleh Tuan Residen dan diperingatkan untuk tidak lagi
menyebarkan Agama Islam. Bersama itulah keluar larangan menyelenggarakan shalat
Jumat. Kiai Delamat pun diperintah kan untuk meninggalkan kota Palembang karena
dianggap membahayakan Pemerintah Hindia Belanda.
Ia
akhimya menetap di Dusun Sarika hingga wafatnya dan di makamkan di Masjid
Babat Toman. Namun, oleh anaknya, K.H. Abdul Kodir dan K.H. Muhammad Yusuf,
jenazah Kiai Delamat dipindahkan kembali ke Palembang dan dimakamkan di
belakang mimbar khatir. Tetapi, karena tidak disetujui Tuan Residen, akhimya
jenazahnya dipindahkan kembali ke Pemakaman Jambangan di belakang Madrasah Nurul
Falah, Kelurahan 30 Ilir, Palembang.
Menurut
keterangan, Kiai Delamat lahir di daerah Babat Tomain Musi Banyu Asin, Sumatera
Selatan. Setelah dewasa, ia pindah ke Palembang dan berdomisili di daerah
Lawang Kidul, tepatnya di Masjid Lawang Kidul. Ketika masih remaja, Kiai
Delamat pemah belajar di Mekah, Madinah, dan Baitul Maqdis, bersama Kiai Muara
Ogan.
Semasa
hidupnya, Kiai Delamat tidak mempunyai satu rumah pun. kecuali masjid-masjid
yang dibangunnya, antara lain Masjid Pulau Panggung, Masjid Fajar Bulan, Masjid
Babat Toman, dan Masjid Pulau Sambi. Sedangkan, di kota Palembang ia membangun
Masjid Al- Mahmudiyah dan Masjid Rohmaniyah yang terletak di Kelurahan 35 ilir Palembang.
Pada masa
penjajahan Belanda, Masjid Suro ini pernah dibongkar dan dilarang untuk dipergunakan
sebagai tempat ibadah selama kurang lebih 36 tahun. Setelah kepengurusan masjid
diserahkan kepada Kiai. Kgs. H. Mahmud Usman atau Kiai Khotib, akhimya nama
masjid ini berubah menjadi Masjid Al-Mahmudiyah sesuai nama pengurusnya.
Setelah
Kiai Kgs. H. Mahmud Usman meninggal dunia maka sekitar tahun 1343 H/1919 M
diadakanlah pertemuan antara pemuka agama dan masyarakat di Kelurahan 30 Ilir
untuk membentuk kepengurusan masjid yang baru. Ini atas prakarsa Kiai Kiemas H.
Syekh Zahri. Maka, terpilihlah kepengurusan BAM yang diketuai oleh Kgs H.M. Ali
Mahmud.
Di masa
kepengurusannya, pada tahun 1920, masjid ini mulai dibongkar untuk diperbaiki.
Pada tahun 1925 dibangun menara masjid, Yang lebih penting bagi masyarakat,
diperbolehkannya kembali shalat Jumat oleh Tuan Residen.
Masjid
yang pemah dipakai sebagai tempat berkumpulnya pemuda-pemuda pejuang yang
tergabung dalam BPRI (Badan Pelopor Republik Indonesia), pemah mendapat bantuan
dana dari Bapak H. Alamsyah Ratu perwiranegara, semasa ia menjadi Menteri
Agama.
Tradisi saat Bulan Ramadhan
Salah satu tradisi Masjid
bersejarah yang terletak di Jl Ki Gede Ing Suro 30 Ilir Palembang ini
ialah membagikan bubur daging kepada orang yang berbuka di masjid dan warga sekitar
terutama anak-anak.
Tradisi
secara turun temurun ini dilakukan sejak masjid tersebut didirikan pada saat
zaman Belanda. Setiap bulan puasa pengurus masjid selalu membuat bubur daging
yang diperuntukan untuk jamaah masjid dan masyarakat sekitar. Sejak dari pukul
14.00 wib para pengurus masjid sibuk membuat bubur daging di halaman belakang
masjid. Puluhan anak-anak yang rumahnya berada disekitaran masjid turut
meramaikan suasana, menantikan dengan begitu setia sampai bubur daging matang
dibuat.
Tidak
ada yang istimewa pada bubur tersebut. Membuatnya sama saja dengan bubur daging
pada umumnya. Namun tradisi dan sejarah yang panjang yang membuat bubur tersebut
menjadi istimewa. Sehingga anak-anak yang ada di kawasan tersebut selalu antre
untuk meminta bubur tersebut. Selebihnya bubur di hidangkan menjelang berbuka.
Sebagai menu untuk orang yang sengaja berbuka di masjid tersebut. Bubur
tersebut dihidangkan seperti adat Palembang. Menikmatinya duduk memajang
mengikuti shaf untuk salat.
(Sumber
: http://gomasjid.blogspot.co.id | http://palembangemas.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar