Geliat perekonomian 16 Ilir dan sekitarnya
sesungguhnya sudah dimulai sejak Kimas Hindi Pangeran Ario Kesumo Abdulrohim
memindahkan pusat kekuasaan dari 1 Ilir yang dibakar habis oleh VOC tahun 1659
ke Kuto Cerancang (kini kawasan Beringin Janggut, Masjid Lama dan sekitarnya)
pada tahun 1662. Denyut perekonomian itu makin terasa saat cucu Kemas Hindi
Sultan pertama Palembang yang bergelar Sultan Abdurrahman Khalifatul Mukminin
Sayidul Imam yaitu Sultan Mahmud Badaruddin Jayo Wikramo memindahkan keraton ke
Kuto Kecik, seiring pembangunan Masjid Agung pada tahun 1738.
Kawasan itu pun menjadi pemukiman tepian sungai, dengan sistem budaya tepian sungai (riverine culture) yang dianut rakyatnya. Sungai Tengkuruk dan Sungai Rendang yang bermuara ke Sungai Musi ersama Sungai Kapuran menjadi "benteng" bagi Masjid Agung dan Keraton Kuto Kecik menjadi pusat perdagangan kala itu. Rakyat dari hulu dan hilir Sungai Musi membawa hasil alam dan menjualnya di sepanjang tepian sungai ini.
Setelah menaklukkan Kesultanan Palembang Darussalam pada tahun 1821, Belanda kemudian mengangkat potensi perekonomian di kawasan itu. Dimulailah pembangunan dengan planologi yang "disesuaikan" dengan keadaan semula.
Kawasan itu pun menjadi pemukiman tepian sungai, dengan sistem budaya tepian sungai (riverine culture) yang dianut rakyatnya. Sungai Tengkuruk dan Sungai Rendang yang bermuara ke Sungai Musi ersama Sungai Kapuran menjadi "benteng" bagi Masjid Agung dan Keraton Kuto Kecik menjadi pusat perdagangan kala itu. Rakyat dari hulu dan hilir Sungai Musi membawa hasil alam dan menjualnya di sepanjang tepian sungai ini.
Setelah menaklukkan Kesultanan Palembang Darussalam pada tahun 1821, Belanda kemudian mengangkat potensi perekonomian di kawasan itu. Dimulailah pembangunan dengan planologi yang "disesuaikan" dengan keadaan semula.
Pola perdagangan di lokasi itu, setidaknya hingga awal 1900-an, dimulai dari berkumpulnya pedagang “cungkukan”(hamparan), yang kemudian berkembang dengan pembangunan petak permanen.
Untuk kawasan Pasar Baru (hingga kini masih bernama Jl Pasar Baru) saat itu sudah berderet bangunan bertingkat dua yang di bagian bawahnya menjadi tempat berjualan. Los-los mulai dibangun sekitar tahun 1918 dan dipermanenkan sekitar tahun 1939.
Sementara itu, muara Sungai Rendang menjadi salah satu "dermaga" pilihan perahu kajang (perahu beratap) berlabuh. Perahu, yang sekaligus menjadi tempat tinggal, ini membawa hasil bumi dari daerah di hulu Sungai Musi untuk diperdagangkan di Pasar 16 Ilir. Hal yang sama juga berlaku di Sungai Sekanak. Menurut W.F. Wertheim (1958), Kotapraja (Gemeente) kemudian dilafazkan lidah Palembang sebagai Haminte melakukan beberapa kebijakan pembangunan. Dibangunlah semacam taman di Talangsemut, pusat perdagangan di 16 Ilir, pelabuhan di Sungai Rendang, serta pusat perkantoran di sekitar Benteng dan Tengkuruk.
Kebijakan ini termasuk rencana pembuatan bulevar.
Untuk merealisasikan rencana itu, Sungai Tengkuruk ditimbun pada tahun 1928. Di
atasnya, dibangunlah jalan dalam dua jalur. Di bagian kiri dari arah Sungai
Musi tampaklah jajaran pohon, dan kanannya, bangunan dua tingkat, yang
merupakan perkantoran. Kawasan 16 Ilir sebagai pusat perekonomian tampaknya
semakin "hidup". Apalagi saat terjadi rubberboom sekitar tahun 1912
dan 1915, orang-orang di Keresidenan Palembang (masuk seluruh daerah di Sumsel)
demikian mudahnya membeli mobil. Peningkatan kemakmuran makin menjadi setelah
tahun 1920. Dalam tahun 1920, mobil pribadi belum sampai 300 buah. Tetapi, pada
tahun 1927, jumlahnya meningkat sampai 3.475 buah. Mobil ini terdiri atas
berbagai mereka, antara lain Ford, Albion, Rugby, Chevrolet, dan Whitesteam
(Djohan Hanafiah: Dicari, Walikota yang Memenuhi Syarat: 2005).
Betapa makmurnya para toke para dan pebisnis masa itu
tampaknya menjadi "wajah" Pasar 16 Ilir. Berita di Pertja Selatan, 17
Juli 1926, tertulis bahwa di kawasan Sungai Rendang, telah berdiri show room
mobil Ford. Bahkan, penjual mobil pun telah memakai surat kabar sebagai sarana
promosi dalam bentuk iklan. Dalam perkembangan selanjutnya, yaitu zaman
kemerdekaan, geliat perekonomian makin tampak di kawasan ini. Antara lain,
menurut kesaksian lisan beberapa orang yang hidup pada masa itu, keberadaan
beberapa bank di Jl Tengkuruk. Yaitu, Nederland Indische Bank, Bank Esconto,
Chinese Bank, Bank Ekonomi, dan Bank Indonesia. Di dekat Bank Indonesia, ada
Kantor Listrik yang bersebelahan dengan Kantor Pajak. Di dekat Chinese Bank,
berderat pula bangunan bernama Cuan Ho, yaitu semacam usaha jasa angkutan
(ekspedisi). Perusahaan ini mengangkut barang dari Boombaru ke Pasar 16 Ilir.
Pada masa ini, dikenallah kuli king, yaitu orang-orang Tionghoa yang bertubuh
tegap dan kuat. Di dekatnya, terdapat Toko Dezon, atau toko matahari menurut
sebutan wong Plembang. Di bagian tepi Sungai Musi, terdapat dua dermaga. Yaitu,
dermaga perahu tambangan di bagian hilir dan Dermaga Kapal Marie di bagian hulu
(saat ini, lokasinya di bawah Jembatan Ampera).
Tingginya tingkat perdagangan, juga terlihat dari
sejarah pemindahan pelabuhan di Palembang pada masa penjajahan Belanda. Juga
catatan mengenai banyaknya kapal yang keluar masuk lewat Sungai Musi ke kota
ini. Seiring kejatuhan Kesultanan Palembang Darussalam, Belanda membangun
pelabuhan yang dinamakan Boom Jeti di depan Benteng Kuto Besak (sekarang
Perbekalan dan Angkutan [Bek Ang] Kodam II Sriwijaya). Sebelumnya, sudah ada
pelabuhan di kawasan 35 Ilir. Tahun 1914, pelabuhan dipindahkan ke muara Sungai
Rendang (kini dikenal sebagai Gudang Garam). Dengan alasan pelabuhan tidak
mampu lagi menampung kapal yang keluar masuk, Belanda kembali memindahkan pelabuhan ke kawasan di antara Sungai Lawang Kidul dan Sungai
Belebak. Pelabuhan yang dikenal sebagai Boom Baru ini ditetapkan oleh Gubernur
Jenderal Hindia Belanda lewat Staadblad No. 545 Tahun 1924. Kala itu, panjang
dermaganya sekitar 250 meter dan dilengkapi dengan Kantor Doane atau Bea Cukai
terapung. Sebagai perbandingan, perkembangan perdagangan berskala ekspor dan
impor di Palembang dapat dilihat dari total jumlah kapal yang beraktivitas
serta banyaknya barang di dua pelabuhan itu pada dua masa berbeda. Pada tahun
1880, kapal yang beraktivitas di Boom Jeti sebanyak 177 unit dengan volume
barang sejumlah 30.330 meter kubik (sekarang, satuan yang dipakai adalah TEUS).
Sementara tahun 1929, jumlah kapal mencapai 1.559 unit dan barang sebanyak
4.050.408 meter kubik.Semua barang yang diangkut kapal berbendera Hindia
Belanda, Belanda, Inggris, Jerman, Prancis, Norwegia, Swedia, Denmark, dan
Italia itu sebagian besar dipasarkan di Pasar 16 Ilir. Ini merupakan salah satu
faktor yang membuat pesatnya perkembangan kawasan ini.
(Sumber : palembangdalamsketsa.blogspot.co.id)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar