Sabtu, 13 Februari 2016

Masjid Al Mahmudiyah (Masjid Suro)





Palembang History - Masjid besar Al Mahmudiyah berlokasi di Jl Ki Gede Ing Suro, Kelurahan 30 Ilir, Kecamatan Ilir Barat (IB) II, Palembang merupakan salah satu masjid bersejarah. Tempat ibadah umat muslim yang akrab disebut Masjid Suro ini sempat terlantar sejak didirikan oleh Ki H Abdurahman Delamat bin Syarifuddin bersama sahabatnya Kiai Ki Agus H. Mahmud Usman (Kgs. Khotib) tahun 1889.

Pada awal berdirinya, masjid ini ramai sekali dikunjungi masyarakat sekitamya, baik untuk shalat maupun menimba ilmu agama kepada Kiai Delamat. Namun, Tuan Residen waktu itu tidak menghendaki masjid tersebut dijadikan sebagai tempat untuk menyampaikan dakwah Islam. Pemerintah Kolonial khawatir masyarakat Palembang akan berontak kepada Kompeni.
Akhinya, Kiai Delamat dipanggil oleh Tuan Residen dan diperingatkan untuk tidak lagi menyebarkan Agama Islam. Bersama itulah keluar larangan menyelenggarakan shalat Jumat. Kiai Delamat pun diperintah kan untuk meninggalkan kota Palembang karena dianggap membahayakan Pemerintah Hindia Belanda.

Ia akhimya menetap di Dusun Sarika hingga wafatnya dan di  makamkan di Masjid Babat Toman. Namun, oleh anaknya, K.H. Abdul Kodir dan K.H. Muhammad Yusuf, jenazah Kiai Delamat dipindahkan kembali ke Palembang dan dimakamkan di belakang mimbar khatir. Tetapi, karena tidak disetujui Tuan Residen, akhimya jenazahnya dipindahkan kembali ke Pemakaman Jambangan di belakang Madrasah Nurul Falah, Kelurahan 30 Ilir, Palembang.

Menurut keterangan, Kiai Delamat lahir di daerah Babat Tomain Musi Banyu Asin, Sumatera Selatan. Setelah dewasa, ia pindah ke Palembang dan berdomisili di daerah Lawang Kidul, tepatnya di Masjid Lawang Kidul. Ketika masih remaja, Kiai Delamat pemah belajar di Mekah, Madinah, dan Baitul Maqdis, bersama Kiai Muara Ogan.

Semasa hidupnya, Kiai Delamat tidak mempunyai satu rumah pun. kecuali masjid-masjid yang dibangunnya, antara lain Masjid Pulau Panggung, Masjid Fajar Bulan, Masjid Babat Toman, dan Masjid Pulau Sambi. Sedangkan, di kota Palembang ia membangun Masjid Al- Mahmudiyah dan Masjid Rohmaniyah yang terletak di Kelurahan 35 ilir Palembang.
Pada masa penjajahan Belanda, Masjid Suro ini pernah dibongkar dan dilarang untuk dipergunakan sebagai tempat ibadah selama kurang lebih 36 tahun. Setelah kepengurusan masjid diserahkan kepada Kiai. Kgs. H. Mahmud Usman atau Kiai Khotib, akhimya nama masjid ini berubah menjadi Masjid Al-Mahmudiyah sesuai nama pengurusnya.

Setelah Kiai Kgs. H. Mahmud Usman meninggal dunia maka sekitar tahun 1343 H/1919 M diadakanlah pertemuan antara pemuka agama dan masyarakat di Kelurahan 30 Ilir untuk membentuk kepengurusan masjid yang baru. Ini atas prakarsa Kiai Kiemas H. Syekh Zahri. Maka, terpilihlah kepengurusan BAM yang diketuai oleh Kgs H.M. Ali Mahmud.

Di masa kepengurusannya, pada tahun 1920, masjid ini mulai dibongkar untuk diperbaiki. Pada tahun 1925 dibangun menara masjid, Yang lebih penting bagi masyarakat, diperbolehkannya kembali shalat Jumat oleh Tuan Residen.
Masjid yang pemah dipakai sebagai tempat berkumpulnya pemuda-pemuda pejuang yang tergabung dalam BPRI (Badan Pelopor Republik Indonesia), pemah mendapat bantuan dana dari Bapak H. Alamsyah Ratu perwiranegara, semasa ia menjadi Menteri Agama.

Tradisi saat Bulan Ramadhan

Salah satu tradisi Masjid bersejarah yang terletak di Jl Ki Gede Ing Suro 30 Ilir Palembang ini ialah membagikan bubur daging kepada orang yang berbuka di masjid dan warga sekitar terutama anak-anak.

Tradisi secara turun temurun ini dilakukan sejak masjid tersebut didirikan pada saat zaman Belanda. Setiap bulan puasa pengurus masjid selalu membuat bubur daging yang diperuntukan untuk jamaah masjid dan masyarakat sekitar. Sejak dari pukul 14.00 wib para pengurus masjid sibuk membuat bubur daging di halaman belakang masjid. Puluhan anak-anak yang rumahnya berada disekitaran masjid turut meramaikan suasana, menantikan dengan begitu setia sampai bubur daging matang dibuat.

Tidak ada yang istimewa pada bubur tersebut. Membuatnya sama saja dengan bubur daging pada umumnya. Namun tradisi dan sejarah yang panjang yang membuat bubur tersebut menjadi istimewa. Sehingga anak-anak yang ada di kawasan tersebut selalu antre untuk meminta bubur tersebut. Selebihnya bubur di hidangkan menjelang berbuka. Sebagai menu untuk orang yang sengaja berbuka di masjid tersebut. Bubur tersebut dihidangkan seperti adat Palembang. Menikmatinya duduk memajang mengikuti shaf untuk salat.




(Sumber : http://gomasjid.blogspot.co.id | http://palembangemas.com)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar